Strategi.id – Pendidikan swasta bergaya semi-militer dilengkapi penjara di dalam lingkungan sekolah, serta metode pendisiplinan lewat cara kekerasan dan merendahkan martabat anak, sebagaimana terungkap dipraktekkan oleh SPN (Sekolah Penerbangan Nasional) Dirgantara Batam baru-baru ini, setidaknya mengonfirmasi hal-hal berikut.
Pertama, gagasan dan praktik penyelenggaraan pendidikan berinstrumenkan kekerasan tetap berlangsung di masyarakat, atau setidaknya ada “pasar” nya terhadap sekolah yang seperti itu. Buktinya, sudah lima tahun SMK Dirgantara Batam beroperasi, yang tentunya sudah melahirkan lulusan, dan entah sudah berapa banyak praktik kekerasan di sekolah itu telah terjadi, namun baru kali ini praktik penyimpangan pendidikan yang berlangsung di sekolah itu terungkap.
Padahal gagasan dan praktik pendidikan berinstrumenkan kekerasan dilarang oleh sistim pendidikan dan sistim perlindungan anak di negeri kita. Sehingga polisi harus bergerak cepat mengusut dan menghukum seluruh pihak yang terlibat, baik itu oknum polisi yang menjadi pemilik sekolah dan pelaku kekerasan terhadap siswanya, maupun kepala sekolah yang melakukan pembelaan dan pembiaran atas berlangsungnya sistim pendisiplinan berwatak kekerasan yang terjadi di SPN Dirgantara Batam.
Kedua, masih adanya pemilik uang di tengah masyarakat yang berorientasi mengejar keuntungan semata dengan mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan. Seraya menerapkan praktik pendidikan yang melanggar hukum, dan parahnya tanpa pemahaman yang benar dan utuh tentang falsafah, konsep, dan metode penyelenggaraan pendidikan yang memanusiakan manusia.
Ketiga, “letoy”nya bahkan tidak berfungsinya dinas pendidikan (Disdik) Kepulauan Riau dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Sebab, bagaimana mungkin ada sebuah sekolah di Batam menerapkan model pendisiplinan dengan kekerasan dan memiliki penjara untuk menghukum siswa-siswanya tetapi sekolah itu bisa tetap beroperasi selama lima tahun terakhir ini, kecuali Disdik Kepri memang melempem kinerjanya selama ini sebagai penjaga marwah pendidikan yang memanusiakan manusia. Dalam konteks ini Kepala Disdik Kepri layak diganti dengan sosok yang lebih bertanggungjawab menjalankan fungsi dan tugas sebaik-baiknya.
Selain itu, kasus kekerasan penyelenggara pendidikan di SPN Batam merupakan satu kasus saja dari gugusan kasus kekerasan terhadap anak dalam beragam bentuknya yang dilakukan pihak sekolah di banyak tempat. Penyebabnya adalah miskinnya perspektif perlindungan anak yang dimiliki banyak kepala dinas pendidikan di daerah, pemilik sekolah, guru, dan petugas sekolah.
Sehingga salah satu upaya mengurangi dan mencegahnya adalah dengan menjalankan secara intensif, berjenjang, dan massif program Pelatihan Perlindungan Anak Berbasis Sekolah, juga Pelatihan Sekolah Ramah Anak, dan pelatihan penunjang terkait HAM, yang wajib diselenggarakan Kemendikbud, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Polri, Dinas Pendidikan, dan Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan.
Sasarannya adalah seluruh aktor penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan juga orangtua siswa. Dan alokasi anggaran untuk pelatihan tersebut wajib dialokasikan secara memadai oleh Lembaga-lembaga tersebut, tidak melulu “megap-megap” seperti selama ini, diantaranya dengan memangkas alokasi anggaran yang banyak digunakan sekedar untuk pemborosan dan menguntungkan segelintir orang tanpa kemanfaatan berarti bagi penguatan budaya perlindungan anak.
Jika tidak demikian, rasa-rasanya akan tetap marak keberadaan pemangku kepentingan dan aktor pendidikan yang miskin perspektif perlindungan anak di negeri ini, yang justru itu menjadi pintu masuk bagi terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
Salam Anak Nusantara.
